Foto : Shando Safela/ Pontianak Post |
Rumah sakit umum daerah Dr. Soedarso merupakan salah satu
rumah sakit pertama milik pemerintah Kalbar. Kali ini, For Her akan mengupas
kiprah dr. Hj. Sri Astuti, MSc.Ph. Dia adalah anak
ke tujuh dari seorang ayah, yang namanya didedikasikan sebagai nama RSUD Dr. Soedarso.
Bekerja dan melakukan yang terbaik merupakan teladan yang ditiru Sri Astuti dari dr. Soedarso, ayahnya. Meski tak bercita-cita menjadi dokter, sebagai wanita kelahiran Pontianak, karier Sri sangat membanggakan. Ia pernah dua kali menjabat sebagai Direktur Jenderal Pelayanan Medis Masyarakat di Jakarta. Bahkan saat pensiun pun ia masih mendedikasikan dirinya untuk dunia pendidikan.
Terlahir sebagai anak bungsu, Sri Astuti sangat dekat dengan
sang ayahnya. Hanya dialah yang mengikuti jejak sang ayah sebagai seorang
dokter. “Menjadi dokter mungkin sudah menjadi panggilan. Waktu masih kecil,
saya paling dekat dengan ayah. Ibu meninggal ketika saya SMP. Saya sering ikut
bapak, membenahi alat-alat kesehatan,” kata alumni SD dan SMP Suster Pontianak ini.
Ia juga kerap ikut ayahnya saat
berkunjung ke rumah-rumah pasien. Dia membantu membawakan tas milik ayahnya.
“Dokter dulu itu khan, sering mengunjungi pasien ke rumah. Saya yang suka ikut
dan bawakan tas bapak. Tapi saya belum punya cita-cita menjadi dokter waktu itu,”
ucap wanita kelahiran Pontianak, 1947 ini.
Memiliki nilai Kimia yang baik saat
duduk di bangku SMA, timbul keinginannya untuk menuntut ilmu di Institut
Tekhnologi Bandung. “Saya daftar ke beberapa perguruan tinggi. Saat itu masih
bisa daftar di banyak tempat. Saya daftar di ITB, di Unpad ambil Fakultas Psikologi,
dan di UI ambil Fakultas Kedokteran,” terangnya. Mengetahui dirinya lulus di
ITB, Sri senang. Ia juga sempat mengikuti perpeloncoan. Namun ketika sang ayah
tahu ternyata anaknya juga lulus di Universitas Indonesia, maka ayahanda meminta
Sri untuk kuliah di UI. “Saya mengikuti
kemauan ayah. Apalagi tak ada satupun dari enam kakak saya yang menjadi dokter.
Tapi sekarang, adik saya dari ibu kedua ada yang menjadi dokter,” jelas dia
yang setelah ibunya meninggal, ayahnya menikah lagi dengan Hartati.
Menurut dia, menjadi dokter tentu
menjadi impian banyak orang. Setelah lulus dari UI, ia pun kembali ke
Pontianak. Masa itu, ia pulang tak sendiri. Dia membawa seorang pria yang kini
menjadi pendamping hidupnya. Sang suami, dr. Suparmanto merupakan teman satu
kelasnya, saat menimba ilmu di UI. Baginya, sang suami merupakan sosok suami
yang tak hanya menjadi imam dalam keluarganya, tetapi juga bisa sebagai teman
dan kakak.
Dalam setiap aktivitasnya, suami
selalu mendukung selama apa yang dikerjakannya adalah hal baik. Termasuk pula
ketika dia mengikuti promosi jabatan menjadi Direktur Jenderal Pelayanan Medis Masyarakat.
”Tahun 1998, saya menjadi Kepala Kantor Wilayah se-Jateng yang kalau saat ini
sama dengan Ka Dinkes. Saya lalu diangkat sebagai Dirjen yang mengurus
pelayanan medis rumah sakit di seluruh Indonesia sampai tahun 2000,” jelasnya.
Menurut Sri, sebelum menerima
promosi jabatan, terlebih dahulu dirinya meminta izin kepada sang suami. Sebab
kata dia, ketika menjadi Dirjen akan banyak waktu yang tersita, karena
kesibukan pekerjaan. “Konsekuensinya akan banyak waktu tersita. Apalagi ketika
saya diangkat menjadi Dirjen, saya lebih banyak menetap di Jakarta. Sedangkan
suami bekerja di Pontianak,” ujar dia.
Kariernya ini, bukanlah dilalui
dengan mudah. Ia melewati proses dari bawah. Mulai dari dokter biasa, kepala
seksi, kepala bidang, kakanwil Depkes Kalbar, Kakanwil Depkes Jawa Tengah,
hingga kemudian menjadi Dirjen. “Jadi bukan serta merta langsung menjadi Dirjen.
Kemudian tahun 2003 saya diangkat menjadi Kepala Balitbang. Tahun 2005 kembali menjadi Dirjen Pelayanan Medis Masyarakat,
setelah itu saya pensiun,” katanya.
Setelah pensiun ia masih diminta
untuk membantu mengawasi Jamkesmas. “Hanya jadi staf untuk membantu saja,
tetapi tidak digaji. Setelah itu betul-betul pensiun, lalu saya putuskan tidak ambil pekerjaan yang
berkaitan dengan kesehatan lagi. Hingga kemudian tahun 2014, ibu sambung saya,
ibu Hartati meninggal dunia. Sehingga saya harus menggantikan beliau menjadi Ketua
Lembaga Kesejahteraan Ibu dan Anak (LKIA) hingga sekarang ini,” ujar Sri.
LKIA merupakan lembaga pendidikan
yang didalamnya terdapat sejumlah taman penitipan, TK hingga sekolah. “Aktivitas
saya sekarang ketika kembali ke Pontianak adalah mengurus LKIA. Ketika di
Jakarta, saya menghabiskan waktu bersama anak dan cucu saya. Saya memang senang
dengan anak-anak. Menurut cerita abang saya, ketika kecil saya suka ke rumah
tetangga dan gendong anak kecil,” pungkasnya. **
Bangga Sosok Ayah, Dr. Soedarso
Bagaimana sosok ayah dimata Anda?
Ayah merupakan sosok orang yang terbaik bagi saya. Saya menjadikan beliau sebagai teladan. Ketika bapak sebagai dokter, dia selalu melakukan yang terbaik. Saya juga mendengar cerita dari abang ketika ayah ditugaskan di Selayar, salah satu daerah terpencil, ayah tidak mengeluh. Bapak saya itu menjadi dokter sejak zaman Belanda. Bahkan ketika itu ayah yang malah sering memberi uang kepada pasien.
Ayah merupakan sosok orang yang terbaik bagi saya. Saya menjadikan beliau sebagai teladan. Ketika bapak sebagai dokter, dia selalu melakukan yang terbaik. Saya juga mendengar cerita dari abang ketika ayah ditugaskan di Selayar, salah satu daerah terpencil, ayah tidak mengeluh. Bapak saya itu menjadi dokter sejak zaman Belanda. Bahkan ketika itu ayah yang malah sering memberi uang kepada pasien.
Perasaan Anda ketika nama ayah
didedikasikan menjadi nama rumah sakit?
Saya sangat berterima kasih sekali kepada
pemerintah atas keputusan tersebut. Ini juga menjadi pembelajaran bagi saya dan
anak cucu ketika kita memberikan yang terbaik kepada masyarakat, maka nama kita
akan dikenang.
Apa kenangan Anda semasa kecil ketika
tinggal di Pontianak?
Saya lahir di Pontianak, pindah ke Jakarta
hingga kelas 2 SD. Kemudian pindah lagi ke Pontianak. SD hingga SMP saya
sekolah di SD Suster. Ketika kecil, saya sering bermain dengan anak-anak
seusia, sebab bapak tidak melarang saya berteman dengan siapapun. Dulu saya pernah
berenang di sungai, tetapi airnya dulu bersih. Bahkan saya juga pernah ikut Bapak
ke rumah pasien di Pal hingga Kakap, naik jhonson (perahu motor, red) melalui Sungai
Jawi. Kalau sekarang ini khan tidak bisa.
Apakah anak ada yang meneruskan profesi
Anda?
Kami mendidik anak tidak selalu memaksakan
kehendak. Kami mendidik dengan kepercayaan termasuk ketika anak saya ingin
menjadi apa. Meski orang tuanya dokter, kedua anak saya tidak ada yang mau
menjadi dokter. Mungkin mereka melihat bagaimana kesibukan saya sebagai dokter.
Anak saya pertama kuliah bahasa asing, yang kedua insinyur. Tetapi menantu saya
dari anak kedua seorang dokter.
Bagaimana menjaga komunikasi ketika Anda,
suami dan anak-anak tinggal berjauhan kala itu?
Hampir setiap hari kami saling teleponan.
Apalagi saat itu, anak-anak saya juga sekolah di Bandung. Jadi kami semua
terpisah. Kalau sudah komunikasi, bisa sampai dua jutaan bayar tagihannya.
Intinya sih saya, suami dan anak saling menjaga kepercayaan saja.
17 Februari 2015
0 komentar:
Posting Komentar