Foto : Shando Safela/ Pontianak Post |
Diedisi perdana kali ini, For Him akan mengulas kiprah
seorang sutradara lokal dengan sederetan karya berupa film televisi. Namanya,
Agung Trihatmodjo. Pria kelahiran Pontianak, 14 Desember 1987 sejak SMA menimba
ilmu di Jakarta. Bakat Sutradaranya terasah ketika ia masih menimba ilmu di
Institute Kesenian Jakarta. Hanya saja, karena beberapa faktor ia tak bisa
menyelesaikan pendidikannya.
Ada yang berbeda pada terbit For Her kali ini. Jika biasanya
setiap hari selasa mengupas figure seorang wanita menginspirasi, di Tahun 2015
ini akan diselingi dengan mengulik figure seorang pria yang kiprahnya mampu
menginspirasi masyarakat. Namanya Agung Trihatmodjo, seorang film director yang sudah
melahirkan berbagai film televisi. Saat ini ia juga sedang menggarap film layar
lebar pertamanya dengan latar belakang Kota Pontianak.
Film pendek pertamanya yang berdurasi 7 menit berjudul Putra
Rajawali. Film yang menceritakan seorang anak lumpuh yang ingin terbang seperti
rajawali. Sejak kecil ia memang senang menulis. Ia sering menumpahkan apa yang
dikhayalnya dalam media tulisan. Bakat inilah yang terus terasah. Dari menulis
cerpen, hingga membuat film.
Agung juga pernah terlibat dalam sebuah produksi film. Salah
satunya terowongan casablanca. Dari situlah pengalaman untuk menjadi seorang
sutradara bertambah. Dari yang awalnya hanya membantu sutradara mengatur pemain
hingga mengatur jadwal syuting. Kini beragam film FTV berhasil ia ciptakan.
Pria yang akrab disapa Agung ini mencoba untuk mengembangkan
karyanya di Kota Pontianak. “ Saya kesini sebenarnya bukan tanpa alasan.
Awalnya saya tertipu oleh seorang investor asal Singkawang. Mulanya dia
berjanji ingin menjadi investor dalam project film tentang Tatung. Tapi sayang 20 persen sudah film itu berjalan,
sang investor tak kunjung mengeluarkan dana untuk produksi film tersebut,”
paparnya menceritakan ketika awal kembali ke Pontianak.
Kini film tersebut terbengkalai, meskipun ia dan teman-teman sudah mengeluarkan banyak biaya termasuk sudah membayar artis ibu kota. Saat itu salah satu pemainnya, Laura Basuki. Bahkan dirinya juga mengorbankan mobil miliknya untuk produksi film tersebut.
Kini film tersebut terbengkalai, meskipun ia dan teman-teman sudah mengeluarkan banyak biaya termasuk sudah membayar artis ibu kota. Saat itu salah satu pemainnya, Laura Basuki. Bahkan dirinya juga mengorbankan mobil miliknya untuk produksi film tersebut.
Ini membuat Agung kecewa dan menjadi masa terberat yang
dirasakan. Tapi perjuangannya untuk terus menghasilkan karya tak berhenti. Ia
bertemu dengan teman-teman yang mensupportnya untuk terus menghasilkan
karya-karya baru. Hingga salah satu FTV berjudul Salam Rindu Buat Khatulistiwa
tayang di TVRI Kalbar. “ Kemudian film Renjana, film yang menceritakan tentang
lempok durian. Salah satu pemainnya bapak Paryadi. Kemudian menyusul beberapa
FTV lainnya,” kata pria 27 tahun itu.
Beberapa karyanya yang bertemakan kota Pontianak juga pernah
mengalami pencekalan disebabkan beberapa faktor eksternal. Tapi baginya,
pencekalan ini bukan menjadi alasan untuk berhenti berkarya.
Sekian banyak film yang dibuatnya, filmnya yang berjudul
Jaladri Sang Pejuang mampu membuat namanya dikenal masyarakat Kalimantan Barat.
Film tersebut, menjadi karya perdananya yang ditayangkan di XXI Mega Mall
Pontianak. Jaladri Sang Pejuang mengangkat kisah nyata anak perbatasan yang
bertahan hidup untuk keluarga dan cintanya kepada tanah air Indonesia. Film itu
mendapat respon positif dari masyarakat.
Agar filmnya bisa
masuk ke bioskop satu-satunya di Pontianak ini, tentu saja penuh perjuangan. “Saya
bahkan sempat pergi XXI Pusat. Saya mempertanyakan kenapa sulitnya film lokal
ditayangakan di XXI. Berbagai proses dilalui, hingga akhirnya film itu bisa
tayang,” tambahnya.
Tak berhenti disitu saja, Jaladri Sang pejuang juga
mendapatkan sejumlah penghargaan. Film Jaladri Sang Pejuang ini masuk 5
nomination best movie Gatra Kencana Award, 3 Nomination KPI Award Nasional,
Following FFI 2014, Following Rotterdam
Movie Screening. Tentu saja hal ini membuatnya senang, meski tidak menjadi
pemenang, karyanya akan menjadi salah
satu film yang akan diputar di Belanda pada pada 4 Februari mendatang.
Tak banyak yang tahu, sebenarnya keinginan Agung bukanlah
menjadi seorang sutradara melainkan bisa menjadi seorang artis. Salah alamat
saat kuliahlah yang membawanya menjadi seorang sutradara. “ Dulu itu pengennya
masuk ke jurusan seni peran. Tapi ketika daftar ulang, saya masuk ke film
televisi. Alhasil disana saya banyak belajar menjadi sutradara apalagi ketika
semester 4, kami harus mengambil mayor. Nah saya memilih menjadi mayor
penyutradaraan,” jelasnya.
Sebenarnya, keinginannya untuk menjadi seorang seniman tak
sejalan dengan keinginan orang tua. Tapi menurut dia, orang tuanya sangat
mendukung apa yang menjadi pilihannya. “ Dilihat dari sisi finansial,
sebenarnya pekerjaan ini menjanjikan. Setiap orang butuh hiburan. Film menjadi
salah satu hiburan yang dibutuhkan orang. Hanya saja perlu pengelolaan yang
tepat. Apalagi khan, kita berkerjasama dengan investor. Orang akan mau
meminjamkan modal, kalau dia yakin akan ada keuntungannya. Sebagai seorang
sutradara harus bisa meyakinkan investor dengan ide-ide yang menarik dan
menjual,” terang dia.
Untuk membuat sebuah film, selain modal khayalan yang mampu
berpikir sesuatu yang mustahil menjadi nyata, juga bisa mengambil ide
cerita lokal. Apalagi di Kalbar lanjut
dia, banyak budaya yang bisa dikembangkan untuk menjadi tontonan menarik. “Kalau
saya sih, bukan memotivasi karena saya bisa membuat film. Bukan pula karena
saya hebat mengkhayal. Film-film ini menunjukkan kebanggaan saya terhadap
daerah. Puluhan judul FTV pernah saya
buat, tetapi ternyata film yang membuat nama saya dikenal itu film Jaladri Sang
Pejuang. Ternyata kalau kita membuat film dengan setting daerah asal kita, jauh
lebih menarik. Saya lahir di Pontianak, saya kenal kota ini. Sehingga apa yang
saya ceritakan itu lebih jujur,” pungkasnya.
Saya sedang mempersiapkan satu film layar lebar perdana saya,
yang kemungkinan akan di rilis pada bulan Mei mendatang. Perkiraan produksinya
pada bulan Februari atau Maret. Ceritanya tentang sejarah Kota Pontianak.
Tentang kuntilanak. Jadi filmnya bergenre horror yang berjudul Pontien.
Kenapa tertarik menjadi sutradara?
Ketertarikan film karena ketika belajar tentang ilmu
pengetahuan, saya lebih enak menangkap sesuatu dengan tontonan, dibanding saya
harus membaca. Dari dulu lebih mudah menangkap sebuah cerita peristiwa dengan
menonton. Dari situlah cita-cita saya muncul untuk menciptakan sebuah karya
audiovisual. Dengan film kita juga bisa menginpirasi seseorang, mengajak orang
berpikir untuk perubahan tanpa harus terjun ke dunia politik.
Sempat main film?
Saya beberapa kali pernah bermain film. Tetapi lebih banyak
bermain di film praktika. Film yang dibuat oleh mahasiswa untuk tugas kuliah.
Apa yang Anda lakukan jika mentok dengan ide?
Apa yang Anda lakukan jika mentok dengan ide?
Setiap seniman, pasti mengalami masalah mentok di ide. Biasanya
saya pergi ke warung kopi atau menonton film. Menonton film itu, biasanya akan
ada inspirasi yang saya dapatkan tanpa harus menjiplak karya seseorang di film
tersebut. Kalau terlalu sibuk dengan pekerjaan, biasanya saya habiskan dengan
flight simulator game. Ini karena keinginan aku ketika kecil ingin menjadi
pilot. Intinya saya ingin melihat dunia lain.
Apakah Anda akan terus mengajak Pemain Lokal dalam Film
Anda?
Saya berusaha setiap film yang saya buat harus ada pemain lokalnya. Tetapi untuk film layar lebar yang sedang saya garap sekarang ini, saya akan mengajak artis nasional. Mengingat dalam industri film, pemain juga menjadi daya tarik kesuksesan film tersebut. Tetapi saya tetap komitmen untuk menggunakan 80 persen pemain lokal. Menurut saya, pemain lokal itu punya potensi hanya saja ini berkaitan dengan kesempatan. Potensi itu tidak bisa nampak jika tidak dimunculkan.
Apakah Ada kesulitan mengatur pemain lokal dalam film Anda?
Seorang sutradara akan dikatakan hebat bila dia mampu mengubah anak jalanan menjadi anak gedongan. Seorang sutradara itu harus mampu mempengaruhi penonton dalam film yang disajikannya. Termasuk pula ketika mengajak pemain lokal. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi saya. Bahkan kedepan, saya ingin mengajak anak Kalbar seperti Kamil Onte dan Gaitsha untuk bermain di film saya, mengajak mereka untuk mencoba membangun kota melalui film. Ini menunjukkan bahwa anak daerah itu punya potensi besar dalam dunia intertaiment. Apalagi sebenarnya banyak artis lokal yang cukup terkenal secara nasional.
Apa yang menjadi Titik pencapaian tertinggi Anda?
Ada banyak keinginan yang ingin saya capai. Termasuk
keinginan untuk membuat film tentang Mandor Berdarah. Untuk pecapaian
tertinggi, saya ingin membuat film yang bisa menjadi cirri khas saya. Artinya
ketika saya meninggal dan ketika film tersebut diputar orang tahu kalau
sutradaranya saya. Seperti film Komedi Warkop. Ketika dengar filmnya saya orang
sudah tahu kalau itu film yang dimainkan Dono, Kasino, Indro. Saya juga bercita-cita membawa Pontianak ke
mata nasional.
Siapa sutradara dan film favorit Anda?
Sutradara favorit saya Steven Spielberg. Saya suka dia
karena dia bisa menghayal sebuah adegan film diluar dari apa yang manusia
pikirkan. Imajinasi dia kuat. Kalau di Indoesia director semuanya favorit.
Karena saya dididik oleh seorang Anang Setia Budi, maka saya lebih banyak
terinspirasi dari dia. Sedangakan untuk film saya suka film The Red Violin.
Film yang menceritakan tentang biola misterius. Film ini saya sukai karena
keberanian sang sutradara yang melempar film ini kepasaran, disaat sutradara
lain memilih tema tentang hero mengikuti
perkembangan film Amerika. Meskipun pada akhirnya film ini jeblok dipasaran
tetapi film ini banyak memperoleh penghargaan.
Apakah ad dukungan dari Pemerintah terhadap film Anda,
terutama yang berlatar belakang Kota Pontianak?
Hingga saat ini belum ada. Saya juga tidak berani berharap.
Meskipun sebenarnya industri kreativ ini merupakan salah satu penggerak ekonomi
masyarakat. Bisa dibayangkan jika sumber daya alam seperti emas, sawit tidak
lagi berkembang, mau lari kemana kita.
0 komentar:
Posting Komentar