Desain Batik Berorientasi Etnik (Batik Khatulistiwa)



Berorientasi dengan keragaman budaya di Kalbar, membuat Angki Karyati Wahyuningsih dan suaminya berkolaborasi berbisnis batik khas Kalbar dengan berorientasi pada kebudayaan Kalbar. Dia menamainya dengan Batik Khatulistiwa.  “Konsep Batik kami mengangkat dan melestarikan budaya setempat, seperti ada unsur ètnik Dayak, Melayu dan Cina. Jadi ornamen yang saya kembangkan adalah dari tiga ètnik tersebut. Karena budaya batik nusantara itu itu acuannya adalah melestarikan budaya setempat,” ucapnya yang memulai bisnis batik tahun 2010.

Begitu juga untuk warna-warna batiknya. Cenderung warna-warna cerah menjadi pilihan. “Konsep batik kami kebetulan suami ibu sendiri yang membuat desain maupun pembatikannya. Sehingga lebih mudah untuk memberi kepuasan terhadap pelanggan,” papar dia.

Batik yang dikembangkan adalah batik tulis dan cap. Tak hanya menjual kain, dia juga menjual aneka batik yang sudah berbentuk pakaian. Modelnya pun beragam. Tersedia pula busana pria maupun wanita yang dipajangnya di galeri miliknya, Jalan M. Sohor, 60 Pontianak.

Suaminya, Wiro Sarwanto memberi kebebasan untuk peminat batik membuat desain sendiri desain batik yang diinginkan ataupun meminta didesainkan. Angki juga memberikan pelatihan membatik pada tempat kursus miliknya. Bahkan anak didiknya pernah meraih juara dua lomba membatik tingkat nasional.

Promosi dilakukan dengan melakukn kerja sama ke beberapa dinas maupun kementerian dengan cara pameran. “Model baju ada yang dari limbah kain percak. Rata-rata kain dan baju di desain sedemikian rupa sehingga bisa di nikmati oleh konsumen,”

Bahan yang digunakan cenderung memakai kain katun jepang, dan dia berani memastikan batik buatannya ini tidak luntur. “Promosi yang di gunakan dengan memakai produk batik yang kami buat. Pemasaran masih lokal tetapi ada beberapa provinsi yang order batik kami,” tuturnya.

Banyaknya tekstil yang bercorak batik dan dengan harga yang sangat murah membuat batik-batik yang ada di Indonesia secara nasional menurun produksinya. Ini juga menjadi tantangan tersendiri bagi Angki dan suami untuk mengembangkan batik buatannya. “Anak-anak muda kita akhirnya tidak mau membatik. Padahal bila kita mau mempertahankan budaya kita yakni batik yang sebenarnya yaitu batik tulis dan cap, maka  pembatik-pembatik kita akan hidup. Artinya anak-anak juga akan tetap berniat untuk membatik,” tutupnya. (mrd)


Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar: