Kemarin saat saya
pulang kuliah, seperti biasa saya melewati
jalan Gajah Mada. Saat itu dari simpang jalan Gajah Mada-Suprapto
sampai perempatan lampu lalu lintas Jalan Gajah Mada-Patimura, lebih dari
sepuluh toko yang terdapat plang peringatan yang bertuliskan “Helm harap
dibawa masuk”. Selain sebagai pengaman saat berkendara , helm juga sebagai trend masa kini. Semakin mahal harga helm maka
ada kebanggaan tersendiri bagi yang memakainya. Namun, hal itu juga memicu daya tarik bagi para maling-maling kelas teri. Pencurian helm saat ini
memang begitu marak terjadi, tak heran dimana- mana sering kita jumpai peringatan agar helm
dibawa masuk bila hendak ke toko.
Semakin mahalnya harga helm, maka semakin rawan pulalah helm itu dilirik
oleh tangan-tangan yang tak bermoral.
Mungkin ini adalah
gambaran kecil dari perilaku bangsa kita. Disaat pemerintah gencar memasukkan
pendidikan karakter dalam pendidikan disekolah, namun disisi lain tanpa kita
sadari kita sendiri sibuk
mengkampanyekan bahwa negara kita begitu banyak terdapat prilaku-perilaku
manusia yang jauh dari norma dan etika. Perilaku tersebut tidak hanya dilakukan
oleh orang yang terdesak karena ekonomi, tetapi perilaku tersebut seakan
menjadi “gaya hidup”. Untuk kalangan
maling kelas bawah, helm begitu menjadi primadona , tapi bagi maling berdasi ,
uang rakyat adalah lirikan terindah untuk dikorupsi.
Sejenak kita
renungkan di saat negara kita sibuk memilih
ketua komisi pemberantasan korupsi , tapi disisi lain dipelbagai media
hampir setiap hari terdapat pemberitaan
para pejabat yang terlibat korupsi. Ditengah negara kita yang bangga karena
menganut paham demokrasi yang menghargai
setiap pendapat masyarakat, tapi disaat itu pula demonstrasi semakin membabi
buta, pelanggaran etika, pengrusakan, serta bahkan pertumpahan darah menjadi
hal biasa.
Meskipun pencurian
helm dan korupsi itu adalah mencuri
sesuatu yang berbeda, tapi kedua-duanya sama-sama mencuri, dan itu melanggar
hukum negara dan juga hukum agama, sama-sama
merugikan rakyat. Tapi banyak orang tidak memperdulikan hukum, toh
menganggap hukum negara ini hanya berlaku bagi rakyat kecil. Hukum sangat mudah
untuk diperjualbelikan. Yang kaya maka dialah yang berhak mengatur hukum.
Semuanya dikendalikan dengan uang. Halal dan haram bukan lagi menjadi soal, yang terpenting semua bisa
disogok ,semua bisa tutup mulut. Para koruptor menjalin hubungan begitu harmonis, saling menjaga rahasia
pribadi. Satu tertangkap puluhan orang yang membela. Kalaupun dikenai hukuman,
ia akan mudah mendapatkan remisi. Beda halnya bagi maling kelas teri yang
tertangkap, mereka akan babak belur dikeroyok masa.
Nampaknya negara
kita saat ini tengah mengidap penyakit “Ngutil”. Bagi rakyat kecil mereka
mencuri untuk membeli nasi, tapi bagi para penguasa sibuk mengisi kantong pribadi. Namun semakin dibiarkan,para
maling semakin beranak pinak, tumbuh berkembang , hilang satu maka akan tumbuh
lebih banyak lagi. Rakyat hanya bisa menghela nafas melihat kebobrokan para
wakil-wakil yang mengatas namakan demi kepentingan rakyat. Rakyat susah bukan sebuah musibah. Rakyat
sengsara bukanlah petaka. Yang terpenting bagi mereka adalah harta dan tahta.
Sampai kapan negara
ini hidup dalam bingkai-bingkai korupsi yang sudah menjadi tradisi. Sampai
kapan negara ini harus menangisi para wakil-wakil rakyat yang tak memiliki hati
nurani. Sampai kapan negara ini harus berada dibawah bayang-bayang penguasa
yang mementingkan kepentingan pribadi. Kita mesti bangkit, kita mesti berjuang
, meskipun berkali-kali kita harus
melewati jalan-jalan yang salah hingga akhirnya Tuhan menunjukkan jalan yang
tepat bagi bangsa ini, jalan yang menghapus belenggu kekejaman para penguasa
dan elite plitik yang tidak bertanggung jawab. Yang pada akhirnya membawa
negara dan bangsa ini pada situasi dan kondisi yang menyamankan semua
pihak.Rakyat mendapatkan keadilan, pendidikan merata, ekonomi sejahtera,
kehidupan bahagia. Semoga!
0 komentar:
Posting Komentar