Bertemunya Sastrawan Kalbar, Sambut Hut RI ke 70

Ratusan judul buku karya anak Kalbar mulai bermunculan. Para penulis ini umumnya tergabung dalam komunitas-komunitas kepenulisan. Selain melalui penerbit nasional, buku juga dicetak penerbit lokal.

Memang, tradisi menulis di Kalbar dari hari ke hari mulai terdengar gaungnya. Banyak komunitas lokal yang mulai mengampanyekan kepada masyarakat untuk menulis. Target utama mereka adalah para pelajar baik dari tingkat sekolah dasar hingga menengah bahkan sampai ke perguruan tinggi agar mau membudayakan menulis dan membaca.

Bentuk kepedulian terhadap tradisi menulis di Kalbar juga terlihat pada malam menyambut ulang tahun RI ke 70. Lewat Malam Apresiasi Sastra, sejumlah sastrawan Kalbar berkumpul untuk mendeklarasikan karya-karya mereka. Ada yang membaca puisi, ada pula yang bermonolog. Disusul dengan sesi terakhir yakni diskusi.

Acara yang digelar di rumah Nur Iskandar, penulis dan mantan wartawan senior ini ternyata diluar dugaan. Sekitar 50 orang hadir dikesempatan itu. Dari anak-anak, remaja, hingga dewasa. Dari yang pemula, hingga yang sudah menciptakan banyak karya. Dari yang biasa hingga yang menyabet banyak juara. Semua menyatu untuk satu tujuan menggaungkan kembali budaya sastra di Kalbar.
Kenapa sastra? Sastra adalah bagian dari partisipasi rakyat. Sebagaimana yang ditulis Seno Gumira Ajidarma, dalam bukunya Ketika Jurnalisme di Bungkam, Sastra Harus Bicara.

Hadir pula Asriyadi Alexander Mering, Yusriadi, Budi Miank, Bas Andreas G, Musfeptial, Anshari Dimyati, Khairul Fuad, Dedy Ari Aspar, Fahmi Ichwan, Albertus, Edi Koemal, Ilham, dan pegiat sastra lainnya.

Pada sesi diskusi, diawali dari cerita Budi Miank, yang malam itu ditunjuk menjadi moderator dadakan. Memang acara tersebut dikemas secara santai.“ Saya waktu kecil senang mendengar cerita dongeng dari ibu saya. Dari dongeng-dongeng tersebut kemudian menginspirasi saya membuat cerita. Kemarin saya bikin Kok Nggang,” ucap redaktur di Pontianak Post ini.

Cerpen tersebut berkisah tentang Kok, lelaki yang sudah berusia 12 tahun. Nggang, adik perempuannya masih delapan tahun. Keduanya tinggal bersama ayah dan ibunya yang bekerja sebagai petani. Sepanjang hari, Kok dan Nggang bermain gasing. Menjelang malam, Kok dan Nggang pulang. Tak ada rasabersalah dari keduanya. Ia pun dimarahi orang tuanya. Mereka malah kecewa dan berjanji ingin menjadi burung. Dan, jadilah mereka burung. Orang kanayant menyebutnya burung enggang. Cerita ini juga hampir mirip dengan lagu Dayak, Indona.

Nah bermula dari dongeng tersebut, Budi Miank pun mengajak pegiat sastra yang hadir untuk membuka cakrawala seperti apa kondisi sastra saat ini, ketika Indonesia sudah mencapai usia ke 70 tahun. Dia kemudian menyebut beberapa sastrawan Kalbar yang karyanya patut diacungi jempol, seperti karya Saifun Arif Kojeh, Amrin dan lainnya.

Sepertinya mereka sudah lama merindukan suasana penuh akrab yang mengupas kondisi sastra saat ini. Bila Budi Miank memulainya dengan dongeng masa kecilnya, Khairul Fuad mengajak untuk menghubungkan sastra dengan persoalan yang ada disekitar. Mengupayakan hal yang dekat dengan kita menjadi satu karya sastra yang menarik. “ Seperti Bang Wisnu Pamungkas yang banyak bercerita tentang Sungai Kapuas yang sangat vital sekali. Sungai bagian dari kehidupan, banyak sekali sastra timbul dari Sungai Kapuas,” tutur penulis buku Mukasyafah Cinta di Pontianak ini.

Dia juga mengetahui Sungai Kapuas atasnya saja tenang, dibawahnya bergelombang. Setelah membaca cerpen berjudul Riak Sungai Kapuas. “ Ini artinya harus hati-hati menyebrang. Saya rasa Sungai Kapuas ini menjadi penting dalam tumbunya budaya kita. Perkembangan bahasa itu melalui alur Sungai Kapuas. Kehidupan yang muncul pertama itu di tepian Kapuas,” paparnya.

Namun kata dia, satu yang menjadi persoalan yakni lama kelamaan ada bagian dari Kapuas yang mulai hilang. “Salah satunya nama gertak. Namun ketika saya menulis tentang ini, Pak Halim (salah satu budayawan Kalbar) mengatakan bukan gertak melainkan gemeretak. Kalau dilihat dari persoalan sekarang, gemeretak ini sudah hilang sebab sudah diganti dengan betonisasi. Kalau meminjam bahasanya Pemkot Pontianak, sudah di komposit. Sudah diratakan,”
Jadi menurut dia, unsur dari gemeretaknya sudah hilang. Gertak tak lagi gemeretak. Nama gertak tak lagi memiliki makna. Dia juga menyebutkan karya lain dari Wisnu Pamungkas, yakni Sajak di Batas Negara. Satu karya luar biasa yang mengangkat persoalan bangsa yang sangat krusial. Bahkan dalam sajak tersebut Wisnu mengungkapkan etalase negara tak lebih bagu dari toiletnya orang-orang Jakarta.

Diskusi kemudian berlanjut tentang Borneo yang tidak berpusat. Ini dikemukakan oleh Albertus. Menurut dia, sekalipun 70 tahun sudah merdeka, tapi orang luar melihat sebenarnya Borneo tidak merdeka.
Ia pun mengutip ungkapan dari salah seorang profesor berkebangsaan Belanda. Menurut dia, profesor tersebut mengungkapkan bahwa Borneo tidak berpusat. “Ketika profesor mengatakan demikian, saya kejar dia. Kemudian prof tersebut bilang bahwa Borneo ini penduduknya bingung. Mereka tinggal tapi tidak bisa kemana-mana. Lahir disini, besar disini, matipun disini,” papar dia.

Orang luar melihat Borneo ini, lanjut dia menjadi suatu tempat untuk dieksploitasi, segala benda yang ada disini harus diangkut. “Orang luar menilai Borneo itu harta dan emas. Mereka menyimpannya di tempat lain di luar Borneo. Kita yang ada di Borneo akan dibiarkan bingung dan tidak berpusat, mau kemana. Yang tersisa adalah segala sampah beracun akibat dari perkebuanan dan pertambangan dalam skala besar. Proses pengambilan sumber daya alam akan terus dilakukan. Dia melihat Borneo belum bebas, belum merdeka, orang borneo belum pintar, sulit mencintai dan berbagi satu sama lain, orang Borneo sulit percaya pada Tuhan, karena kebebasan sesungguhnya tidak di dapat. Syukur ada sastra,” ucapnya.

Sementara itu Yusriadi dalam karyanya lebih banyak mengangkat persoalan lokalitas. Terutama menyisipkan kedaerahan pada judul karyanya. Seperti khatulistiwa, borneo, Kapuas, dan sebagainya.

Geliat menulis juga dikembangkan oleh Edi Koemal. Pria yang malam itu mengajak putrinya untuk mendeklarasikan puisi ini juga prihatin dengan kondisi anak zaman sekarang yang tidak mahir menulis.

Acara ditutup dengan pidato singkat dari Nur Iskandar sebagai tuan rumah. Meski sebenarnya banyak yang menginginkan acara malam itu dilanjutkan. Sayang, waktu sudah menunjukkan pukul 22.00. Pria sejuta ide ini pun kemudian berangan jika suatu saat di Pontianak ini di buat acara yang sama dengan konsep yang berbeda. Semisal ada musik akustik, ada monolog, dan konsep lainnya. Satu ungkapan menarik darinya, sasta menjawab sosial kemasyarakatan lewat cultural sastra.
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar: