Belum lama ini,
saya bertemu dengan Mba Asma Nadia, sang penulis terkenal yang karyanya sangat
memukau masyarakat. Terbukti tak hanya bukunya saja yang meledak di pasaran,
ketika buku tersebut di filmkan pun mampu menyedot perhatian penonton.
Sosok Mba Asma Nadia menjadi idola masa kini, terlebih bagi penggiat dunia tulis menulis. Banyak yang menggemarinya, ingin berfoto bersama, setidaknya itu yang saya lihat ketika menghadiri salah satu acara yang diselenggarakan di Audit Universitas Tanjung Pura, Pontianak, Kalimantan Barat. Acara yang mempertemukan saya dengan Mba Asma. Sebenarnya memang sudah sejak lama saya ingin berjumpa dengannya. Ingin sekali bertemu langsung dengan sosok wanita yang tampilannya sederhana tapi kaya akan inspirasi.
Meski namanya sudah
tersebar di setiap penjuru negara ini, tapi ia tetap tampil dengan budaya
Indonesia. Budaya ramah tamah, senyum yang selalu di ukir, tentunya berbagi
ilmu sembari berdagang. Dikesempatan itu, dia menerangkan dengan apik tentang
cerita dari setiap buku yang ditulisnya.
Saya juga
berkesempatan mewawancarai Mba Asma. Hasil wawancara tersebut kemudian saya
suguhkan kepada Pembaca Pontianak Post, pada Kolom For Her. Banyak kisah
menarik yang bisa digali dari beliau. Sayangnya tak banyak waktu yang bisa
diluangkannya, sehingga kami tidak bisa mengobrol banyak. Sebab dia harus
segera pulang. Saat wawancara saya hanya sendiri. Terasa akrab sekali meski
baru kali pertama bertemu.
Sebelum saya
bertemu dan ngobrol dengan Mba Asma, saya menungggu sembari melihat beberapa
buku yang tertera di atas meja. Buku-buku tersebut sengaja dibawa Mba Asma,
bagi yang berminat bisa membelinya. Ternyata peminat bukunya itu sangat ramai
sekali.
Sembari menunggu, mata
saya tertuju pada sebuah buku. Di Cover buku tersebut, tampak seorang pria
dengan gaya seakan ingin melangkah secara perlahan. Ia menggunakan baju kaos
sederhana dengan celana berbahan kain. Di pundaknya, pria itu membawa tas. Di belakang pria tersebut tampak sebuah Tugu
Monas dan beberapa gedung tinggi lainnya.
Ketertarikkan saya
ingin memiliki buku tersebut bukan tak beralasan. Buku yang berjudul Mengejar
Ngejar Mimpi karya Dedi Padiku ini memang “Kena di Mata jatuh di hati”, (Sok
sweett khan, hee). Saya membeli buku ini karena pandangan pertama langsung
teringat pada sosok seorang sahabat. Sahabat saya ini sejak lulus kuliah telah
meninggal kan, eh kejauhan maksudnya meninggalkan kota Pontianak dan kembali ke
kampung asalnya, Sebawi, Kabupaten Sambas.
Sosok Dedi Padiku
di Cover tersebut mirip sekali dengan sahabat saya yang akrab di panggil Nyeh.
Nyeh itu bukanlah panggilan kebangsawan, bukan pula titel dari luar negeri.
Nyeh itu tersemat dinamanya, karena dia suka bilang nyeh,, nyehhh saat bicara.
Tapi unik juga khan, setidaknya dia jadi punya ciri nyeh, eh ciri khas maksudnya.
He. (damai sob)
Apalagi, setelah
membaca buku ini, saya semakin mengingat teman yang sudah berbulan-bulan tidak
ketemu. Kangen juga dengan sahabat satu itu. Saya semakin ingin dia segera
membaca buku ini. Kenapa? Karena di buku ini menceritakan seorang pria yang
ingin merantau ke berbagai daerah salah satunya ke Jakarta. Sama dengan sahabat
saya itu, dia ingin lepas kuliah merantau.
Ada lagi beberapa
kesamaan, baik dalam bicaranya maupun pengetahuannya. Kalau bicaranya jelas
tidak mirip Cuma ada kesamaan. Untuk kesamaannya saya sajalah yang tahu.
Sedangkan untuk pengetahuannya, hampir mirip. Miripnya itu, teman saya suka
hal-hal berbau Jepang, nah sama dengan Dedi Padiku juga ingin merantau ke
Jepang. Kalau teman saya sukanya menggambar kalau Dedi Padiku suka karena
tekhnologi di Jepang. Pokoknya rada-rada mirip.
Miripnya rada-rada deh. Setelah membaca buku tersebut akan saya ceritakan pula di kisah selanjutanya. **---**
0 komentar:
Posting Komentar