Wanita Pekerja
Bangunan
Oleh : Marsita Riandini
Panas matahari begitu menyengat. Langkahku untuk menuju
Gedung Perpustakaan STAIN Pontianak semakin kukencangkan. Aku semakin tak mampu
menahan rasa panas matahari yang menyengat kulit. Tapi tidak untuk seorang
pekerja bangunan yang tampak sedang sibuk mengangkut kayu, sisa bangunan lama.
Memang saat ini kampusku sedang mengalami pembangunan
disana-sini. Jadi tak heran setiap harinya aku sering menjumpai para pekerja
bangunan. Tapi seorang pekerja yang satu ini cukup menarik perhatianku. Awalnya
aku biasa saja, mungkin sama seperi teman yang lain, tak begitu memperhatikan.
Tapi sore itu saat aku pulang dibonceng temanku. Tepat di Bundaran atau biasa
kami sebut gazebo, pekerja itu tampak sibuk mengangkut kayu. Saat itu ia
mengenakan jaket kotak-kotak, kemudian wajah
ditutupnya dengan slayer. Sehingga tak tampak olehku wajah pekerja itu.
“Balak Ibu ini eh”, kata Ninda teman yang memboncengiku.
“Ha’ ibu-ibu ke tu?”tanyaku meyakinkan.
“Aok, ibu-ibu tu”, jawabnya.
Aku tak melanjutkan lagi pembicaraan itu. Sejak saat itu aku
walaupun tidak selalu, namun aku jadi sering melihat para pekerja, terutama ibu
pekerja bangunan itu. Beberapa kali aku bertemu , ibu itu selalu mengenakan
slayer diwajahnya. Sudah tua kah? Atau masih muda pikirku. Hingga siang itu, tepat
disaat jam istirahat kampus, para pekerja juga istirahat. Pun tak ketinggalan
ibu pekerja bangunan itu. Ia tampak asyik duduk bersama pekerja yang lain.
Mungkin sudah terbiasa sehingga ia tak tampak canggung menikmati makan bersama
yang lain. Hari itu pula aku mellihat wajah ibu tersebut. Usianya kia-kira
empat puluh tahun lebih.
Aku sering melihat seorang ibu rumah tangga tukang parkir, pengendara truk, supir angkot,
pekerjaan laki-laki yang dilakoni oleh seorang perempuan.Itupun lewat televisi.
itu karena tuntutan ekonomi yang memaksa mereka memilih profesi tersebut. Tapi
untuk di Pontianak, baru kali ini aku melihat seorang ibu menjadi tukang
bangunan. Ya, ini sangat mengherankanku.
Pekerja bangunan pasti membutuhan tenaga yang ekstra, meskipun ibu itu pastinya
diberikan pekerjaan yang lebih mudah dari para pekerja lain.
Sebenanya aku ingin sekali bertanya dengan si Ibu, tapi aku
takut mengganggu pekerjaannya, lagipula melihatnya sering menutup wajah, membuatku
semakin tak ingin bertanya. Tapi bagiku ibu ini adalah satu diantara sekian
wanita yang tangguh. Dibalik hingar bingar kota, dibalik sempitnya ladang
pekerjaan, disaat sulitnya mendapatkan uang . Ibu ini memilih menjadi pekerja
bangunan. Tak ingin berpangku tangan. Meski itu bukan hal yang gampang.
Ternyata ibu ini memang bukan wanita pertama menjadi pekerja
bangunan. Ketika aku ceritakan itu pada abangku, katanya memang sudah banyak ibu-ibu menjadi pekerja bangunan,
tapi mereka tentunya bukan ditugaskan untuk bekerja hal-hal yang berat,
biasanya hanya disuruh ngenet tukang ( istilah pengangkut pasir, atau pengantar
semen yang sudah di aduk ).
Mungkinkah ini yang namanya emansipasi wanita. Bekerja apapun asal halal,
meski bukan ukuran pekerjaan mereka, semuanya akan mereka lalui, demi periuk
nasi yang harus mengepul setiap harinya, demi anak-anak yang punya masa depan.
Demi kelangsungan hidup yang aman. Itulah kehidupan, banyak kebutuhan, yang
membuat kita mesti berjuang melawan arus yang penuh tantangan dengan penuh
kesabaran.
0 komentar:
Posting Komentar