Malam itu sekitar pukul 22.00 Saya
mendengar acara Kampung Halaman melalui chanal
RRI -Pro1. Acara tersebut mengangkat tema tentang menulis karya ilmiah,
yang mengundang narasumber yaitu Bapak Prof. Riza dan Bapak Fahmi seorang mahasiswa
S3 yang menempuh studi di Amsterdam.
Yang menarik dari perbincangan
ini adalah mengulas tentang kebijakan Dirjen DIKTI mengenai kewajiban mahasiswa
menulis skripsi dan karya ilmiah sebagai syarat kelulusan, dan karya ilmiah tersebut diterbitkan dalam
jurnal, baik itu jurnal lokal kampus maupun jurnal lainnya.
Menurut Pak Fahmi, di Amsterdam
para mahasiswa sudah terbiasa untuk
menulis 3-4 tulisan karya ilmiah yang berbentuk rangkuman dari materi-materi
kuliah yang telah diberikan.
Saya terkejut mendengar hal
tersebut, saya merasa tidak terbiasa untuk menulis apalagi dalam bentuk karya
ilmiah dan disebuah jurnal pula. Yah Jurnal sebuah nama yang seharusnya bukan
menjadi barang asing bagi seorang mahasiswa. Tapi tidak menutup kemungkinan
masih banyak mahasiswa yang tidak tahu apa itu jurnal.
Selain itu, para narasumber juga
mengungkapkan bahwa untuk menerapkan hal tersebut dikalangan perguruan tinggi ,
tentunya diimbangi dengan jumlah jurnal
yang ada. Sebab jurnal yang ada saat ini masih sangat sedikit, belum lagi
banyaknya dosen yang masih minim dalam menulis terutama di jurnal, serta dikhawatirkan ada para calo-calo yang membuatkan karya ilmiah orang lain
Saya jadi teringat dengan
pertanyaan yang diajukan oleh Pak Khairul Fuad kepada saya, mengenai sebuah tulisan saya. Seharusnya sebagai seorang
penulis tulisan tersebut, tentunya saya dapat menjawab pertanyaan dari Pak Fuad
dengan argumentasi saya. Tapi saya bingung dan memberikan sebuah jawaban yang
mungkin bukan sebuah jawaban yang tepat. Apalagi pertanyaan tersebut dilontarkan
didepan orang yang saya kutip ucapannya. Padahal seorang penulis dituntut untuk
mampu mempertanggungjawabkan tentang apa yang mereka tulis.
Saya semakin sadar bahwa untuk
menghasilkan sebuah karya melalui tulisan, kita tidak hanya sekedar menulis,
tapi juga mesti tahu betul apa yang kita tulis, tujuan dari kita menulis, dan
menjauh dari yang namanya plagiat atau
menjiplak karya orang lain.
Sebagai upaya mengatasi
kekhawatiran tersebut, narasumber juga menyarankan hendaklah setiap perguruan tinggi
mesti membiasakan menulis kepada mahasiswanya sehingga terciptanya sebuah lingkungan
yang senang menulis. Dan, dalam mengatasi para calo, perlu peran serta dosen
pembimbing untuk mengecek keaslian tulisan mahasiswanya. Kemudian sebuah jurnal
mesti ada editor kemudian editor memberikan tulisan tersebut kepada reviewer/
peninjau untuk mengecek dan memberi pertanyaan-pertanyaan untuk mengetahui
keaslian tulisan tersebut. Selanjutnya masyarakat juga bisa menilai keaslian
tulisan tersebut dengan mengecek secara
langsung di jurnal, karena tiap jurnal mestilah dapat dicek secara online.
Dari acara tersebut salah satu narasumber berharap agar budaya menulis dapat melekat dan hidup pada
diri mahasiswa, bukan hanya menjadikannya sebagai suatu kewajiban dan menjadikannya
suatu beban. Yah mudah-mudahan hal ini juga
memacu semangat kita untuk berlatih dan memulai serta membiasakan diri untuk
menulis. Sehingga menulis bisa menjadi bagian dari rutinitas bukan karena sebuah
keterpaksaan.
0 komentar:
Posting Komentar