Perjuangkan Hak-Hak Perempuan, Raih Penghargaan International

Foto : Dokumentasi Nani
Zulminarni memiliki panggilan kecil Nani. Ia kerap menggabungkan nama kecil dengan nama sebenarnya menjadi Nani Zulminarni. Kiprahnya sebagai aktivis perempuan cukup menggema di berbagai wilayah, tak hanya di tanah air tetapi sudah merambah ke Asia.

RA. Kartini dianggap sebagai salah satu pejuang bangsa. Terutama dalam  memperjuangkan pendidikan terhadap kaum perempuan. Meski RA. Kartini telah tiada, tetapi Kartini menjadi symbol bagi perjuangan perempuan lainnya dalam kehidupan. Ada banyak kartini masa kini yang berjuang  dalam hidupnya juga untuk kepentingan masyarakat.

Kali ini For Her akan mengulas, salah satu Kartini masa kini, yang kiprahnya memperjuangkan hak-hak perempuan sangat mengema. Dia adalah Zulminarni, wanita kelahiran Ketapang 10 September 1962.  Ia tumbuh dan di besarkan di Kota Pontianak.

Nani memiliki banyak prestasi. Ketika SMA ia mewakili Kalbar sebagai pelajar teladan di tingkat nasional tahun 1980. Kemudian tahun 1981 ia berhasil masuk Jurusan Ilmu Perikanan di Institute Pertanian Bogor tanpa tes seleksi. Pada tahun 2007 dirinya menerima beasiswa ASHOKA. Bulan Agustus 2010, ia juga menerima Saparinah Sadli Award.

Prestasi tersebut terus berlanjut. Pada tahun 2014 meraih penghargaan Asia Pasifik yakni Lotus Kepemimpinan Award dari The Asia Foundation, pengakuan internasional dari global Keadilan Award (USA) 2014, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Sosial (Menkokesra Award). Ia juga meraih penghargaan sebagai wanita Inspiring of NOVA 2014. Sarinah Penghargaan PDIP 2014, dan Jurus terakhir Andy Pahlawan 2015.

Tapi sederetan prestasi tersebut bukanlah didapat dengan mudah. Bahkan ia sempat mengalami kesulitan mencari pekerjaan ketika usai merampungkan studi S1-nya. “ Selesai kuliah S1, saya kembali ke Pontianak. Mencoba peruntungan di tanah kelahiran sendiri, berharap mendapatkan pekerjaan. Tapi karena tahun 1982 saya sudah berjilbab, maka sulit buat saya mencari pekerjaan. Waktu itu perempuan berjilbab masih sedikit sekali dan peluang kerja untuk mereka yang berjilbab sangat susah dicari. Sehingga saya memutuskan untuk kembali ke Bogor,” terang yang dihubungi For Her dari Pontianak.  

Di Bogor beragam pekerjaan dilaluinya, mulai dari menjadi guru siswa SMA, pekerja konfeksi, jualan. Hingga kemudian ia menemukan kenyamanan dengan profesinya sebagai aktivisis perempuan. “Awalnya saya masuk di LSM Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW). Saya fokus pada pemberdayaan ekonomi. Saya banyak mengunjungi ibu-ibu di berbagai daerah,” ujar dia.
Dari situlah ia mulai belajar banyak tentang persoalan perempuan. Bagaimana memberdayakan perempuan. Bahkan dia merasa pekerjaannya ini paling pas dengan dirinya. “Saya merasa ini pekerjaan paling pas. Meski gajinya kecil tapi pekerjaan ini tidak mengusik cara berpakaian saya, lingkungan juga mendukung,” terangnya.

Tahun 1991-1993, ia mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Amerika Serikat. Karena kiprahnya dibidang sosial, maka ia mengambil fakultas sosiologi. Sepulang dari kuliah, tahun 1995 ia diangkat menjadi Direktur PPSW. “ Saya mulai mengembangkan pendekatan tak hanya di bidang ekonomi saja, tetapi juga menggunakan pendekatan bidang lainnya,” ucap dia.

Pasca konflik pada era reformasi, ia mendapat tawaran dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan untuk mendokumentasikan hidup para perempuan yang menjanda. “ Lalu saya berpikir, jangan hanya mendokumentasikan saja, tetapi harus ada yang bisa dibangun dan membuat perempuan jadi lebih berdaya,” terang dia.

Tahun 2000 ia mulai merintis Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) dan memilih keluar dari PPSW. “ Saya dirikan Pekka tahun 2000, tahun 2001 mulai merekrut pendamping, tahun 2002 bangun Pekka di daerah-daerah. Terus meningkat hingga saat ini,” jelas wanita yang menjadi Koordinator Nasional PEKKA ini. Menurut dia saat ini sudah mencapai 19 Provinsi di seluruh Indonesia dan bekerja sama dengan sekitar 1.400 organisasi akar rumput miskin perempuan kepala keluarga.

Sejak mendirikan Pekka, Nani lebih senang menyebut perempuan yang berpisah dengan suaminya dengan sebutan kepala keluarga. “ Saya ingin mengubah stigma negatif terhadap seorang janda. Mereka merupakan kepala keluarga yang berjuang menghidupi anak-anaknya. Menjadi janda bukanlah sesuatu yang hina,” jelas dia.

Menurut dia, perempuan memerankan fungsi yang mendasar ketika dia tidak punya suami. “Berdasarkan pengalaman saya ketika bercerai tahun 1990-an mengenai betapa susahnya jadi janda. Masa-masa ketika saya mengalami situasi yang sulit ketika bercerai, itu saya hadapi. Apalagi perempuan-perempuan miskin. Kenapa perempuan miskin? Saya melihat selama ini orang tidak menghargai, mengabaikan, tidak mengapresiasi peran janda ini yang merupakan orang nomor satu dalam keluarganya,” beber dia.

Nani juga berkiprah sebagai fasilitator pelatihan gender bagi semua tingkatan peserta termasuk para pengambil keputusan, pemimpin LSM, dan akar rumput masyarakat. “Saya juga mengembangkan modul tentang gender, pengorganisasian masyarakat, advokasi akar rumput, dan modul terkait lainnya untuk pemberdayaan perempuan akar rumput. Wilayah kerjanya adalah bangsa lebar-meliputi hampir seluruh provinsi di Indonesia, dan regional Asia Tenggara, Asia dan Pasifik,” pungkasnya.

---

Apa saja pengalaman lain Anda
Saya terlibat sebagai salah satu pendiri ASPPUK Jaringan nasional LSM yang bekerja pada isu-isu perempuan dalam ekonomi, dan terpilih sebagai orang ketua komite eksekutif untuk periode 1995-2001. Saya juga terpilih sebagai dewan eksekutif ASPBAE-Asia Association Pasifik Selatan untuk Pendidikan Dasar dan Dewasa (2000-2008). Terpilih sebagai anggota komite eksekutif SEAPCP --South Asia Timur populer Komunikasi Program-jaringan regional organisasi berbasis masyarakat yang berfokus pada Pengorganisasian Masyarakat Kegiatan di kawasan Asia Tenggara (2004-2008).
Saya tergabung dalam Social Watch Jaringan dan menjadi anggota dari Social Watch Asia yang memiliki tanggung jawab dalam memantau upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan di satu negara. Saya juga sebagai anggota dari REMDEC - sebuah perusahaan konsultan pemberdayaan masyarakat, dan JASS (Hanya Asosiasi) jaringan global aktivis keadilan, dan AWID (Asosiasi Perempuan dalam Pembangunan). Pada tahun 2009 saya menggerakkan Musawah bersama dan mengambil bagian dalam membangun jaringan Indonesia Ulama dan Aktivis berjuang untuk kesetaraan dalam Keluarga, yaitu ALIMAT. 

Harapan Anda?
Saya ingin memiliki lembaga pendidikan perempuan yang tidak mampu menyelesaikan pendidikan formal yang tinggi. Mereka nantinya bisa dilatih dan didik lebih kurang setahun lamanya. Sehingga perempuan-perempuan ini bisa berkiprah dimasyarakat.

Bagaimana membagi waktu?
Ketika masih menjadi Direktur PPSW, peran saya tidak sebesar ketika di Pekka. Waktu itu saya masih memiliki suami, sehingga tugas dan tanggung jawab bisa dibagi bersama. Sementara ketika saya menjanda saya harus cermat betul. Mengatur dengan sebaik mungkin. Sehingga tetap mengutamakan anak-anak.

Bagaimana pola asuh Anda terhadap anak-anak?

Saya dan anak-anak berusaha menjalin keterbukaan. Membiasakan tidak ada rahasia diantara kami. Ketika anak saya suka game, saya coba gali kesenangannya itu kemudian saya arahkan dia untuk menghindari hal-hal yang bisa merusak masa depan, seperti narkoba dan seks bebas. Hal terpenting menanamkan pendidikan agama. Saya mempercayakan anak kedua dan ketiga saya pada kakaknya yang pertama. Anak pertama saya ini tak hanya sebagai anak, tetapi saya anggap seperti sahabat. Saya sering berbagi cerita dengannya.

Hal yang dirindukan di Kalbar?
Banyak hal yang saya rindukan di Kalbar. Apalagi keluarga besar saya ada di Kalbar. Saya merindukan makanan, dan kehidupan di Kalbar yang terasa waktunya lebih lambat di banding disini. Disini terasa berkejar-kejaran dengan waktu.  Makanya setiap lebaran saya selalu pulang ke Pontianak. Saya bisa menghabiskan waktu berhari-hari disana.

Sosok Kartini di Zaman sekarang menurut Anda?
Sebenarnya pejuang wanita di Indonesia tak hanya Kartini saja. Ada banyak pejuang lainnya yang berjasa seperti Cut Nyak Din, Dewi Sartika, dan termasuk perempuan atau ibu-ibu lainnya yang berjuang tetapi namanya tidak dicatat. Kenapa Kartini? Sebab Kartini sebagai simbol melawan ketidakpedulian terhadap perempuan terutama dalam menempuh pendidikan. Sementara saat ini cukup banyak Kartini masa kini yang berjuang. Mereka menjadi perempuan yang memiliki potensi yang bermanfaat bagi kepentingan orang banyak. Seperti Butet Manurung yang masuk ke hutan, ke rimba-rimba untuk memperjuangkan pendidikan kepada anak-anak disana. Terus dalam dunia perfilman ada Nia Dinata, ada Ibu Risma yang luar biasa sebagai pemimpin. Juga petani-petani di kampung-kampung dengan sumber daya terbatas. Dan banyak lagi Kartini masa kini yang berjuang.

Pesan untuk perempuan di Kalbar?
Perempuan-perempuan di Kalbar memiliki potensi yang sama dengan perempuan lainnya di luar Kalbar. Apalagi jika perempuan yang memperoleh pendidikan semakin meningkat. Kesadaran perempuan Kalbar pun dalam dunia politik juga mulai tampak. Periode tahun lalu ada wakil Kalbar yang menjadi satu-satunya perempuan di DPD RI.

21 April 2015


Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar: