Berdakwah dengan Pena


Asma Says : 

Perempuan memiliki daya tahan melebihi yang dia kira. Bisa menanggung rasa sakit dan berbagai perkara, suami belum pulang, anak menangis dan harus memasak bisa dilakukan sekaligus oleh perempuan. Saya percaya, perempuan itu multifungsi yang bisa memberikan energi positif, sehingga mereka harus menggali potensi diri untuk membuat perubahan.”
               

Foto : dokumen Ama Nadia
               Mendengar kata Assalamu’alaikum Beijing, tentu Anda sudah tidak asing lagi, bahkan  mungkin Anda sudah membaca buku dan menonton filmnya. Bagaimana dengan Catatan Hati Seorang Istri? Sinetron yang diperankan Dewi Sandra tersebut, belum lama ini juga menjadi tayangan dengan rating yang tinggi. Kali ini, For Her berkesempatan mewawancarai Asma Nadia (42 th), seorang wanita yang berperan penting dalam kesuksesan film dan sinetron tersebut.  Melalui tangan dinginnya, dia mampu melahirkan karya yang disenangi banyak orang. 

              Asma Nadia dikenal masyarakat Indonesia karena kiprahnya dalam dunia tulis menulis. Sebanyak 49 buku karyanya mampu menarik minat pembaca, bahkan menjadi buku best seller. Menulis menjadi salah satu cara yang dilakukan oleh Asma untuk menjadi manusia yang bermanfaat. Baginya, kalau belum pasti memperoleh surga, maka setiap kita harus termotivasi untuk melakukan amal kebaikan.
Dikatakan dia, menulis bisa menjadi sarana untuk berdakwah. Terlebih jika apa yang ditulis itu berkualitas. “Ketika kita menulis, ada kebaikan yang diperoleh oleh pembaca dan kita ikhlas menuliskannya. Mudah-mudahan itu menjadi pengurang dosa-dosa. Ketika meninggal dan buku tersebut masih dibaca, maka akan terus mengalirkan pahala-pahala,” jelas kelahiran Jakarta, 26 Maret ini.

Asma Nadia bersama sang kakak Helvy Tiana Rosa merupakan pencetus Forum Lingkar Pena. Menurut dia, awal berdirinya FLP ini bertujuan untuk merangkul siapa saja yang ingin menulis. “Pada masa itu banyak yang ingin menulis, baik itu pelacur, pembantu rumah tangga dan guru. Kami memberi bimbingan, tidak perlu harus yang hebat dulu,”  kata wanita yang kerap keliling berbagai negara untuk menginspirasi dalam dunia menulis ini.

Bersama suami, Asma mendirikan Komunitas Bisa Menulis di Facebook. Komunitas tersebut menjadi wadah bagi siapa saja yang ingin berbagi soal kepenulisan sehingga di tidak berjalan di tempat. “Kami saling menyemangati, mengkritik. Tujuan mendirikan ini bermula dari obrolan dengan suami. Bahwa usia kami sudah masuk 40 tahun. Jangan sampai ketika kami meninggal, sedikit pengetahuan kami tentang menulis ini tidak terkaderisasi,” kata istri dari Isa Alamsyah yang juga penulis ini.  
Menurut Asma, yang dibutuhkan oleh penulis itu adalah mental siap dikritik agar bisa berproses menjadi lebih baik. “Saya juga menulis penuh perjuangan hingga karya saya bisa dikenal masyarakat. Paling lama saya menulis 8 tahun, paling cepat bisa dua minggu,” beber wanita yang segera menyelesaikan bukunya ke 50 ini.
Asma juga mendirikan seribu perpustakaan duafa. Sekarang baru berdiri 160 di lokasi yang masyarakatnya berekonomi lemah, pendidikan terbelakang. “Harapannya tidak ada alasan lagi anak Indonesia tidak bisa membaca . Di setiap rumah baca itu akan diisi dengan pendidikan bahasa Inggris dan komputer. Bahkan ada yang mendirikan panti asuhan,” jelasnya.
Sebagai penulis terkenal, dirinya juga biasa terkendala dengan ide. Persoalannya apakah mau jadi pecundang yang selalu cari cari alasan untuk berhenti atau ingin menjadi orang sukses yang berhenti mencari alasan.  “Saya pikir semua penulis pernah merasakan kehilangan ide, mentok, buntu, punya masalah susah temukan ending, penokohan. Ide cerita saya biasanya berasal dari curhatan, pengamatan, membaca,” katanya.
Asma juga enggan menulis karena diburu oleh penerbit. Baginya, agar tulisan itu bermanfaat untuk banyak orang, penulis harus memastikan tulisannya itu berkualitas. “Jangan pernah mengirimkan tulisan yang prematur. Kalau kita sendiri sebel dengan tulisan kita, bagaimana orang lain. Saya pribadi kalau menulis selesai dengan cepat, biasanya editingnya yang lama,” bebernya.

            Beberapa buku karya Asma Nadia memang sukses masuk ke industri perfilman dan sinetron. Untuk mencapai itu semua, lanjut dia bukanlah persoalan yang mudah. Butuh 14 tahun lamanya, karya Asma Nadia baru masuk ke layar lebar dan disinetronkan. “Saya punya buku pertama itu tahun 2000. Tahun 2014 baru karya saya disinetronkan. Penuh  perjuangan pasti. Apalagi setelah menjadi ibu rumah tangga, saya harus membagi waktu dalam berkarya,” beber ibu dua anak ini.
Ketika karyanya difilmkan, ada yang menganggap kalau dia  tidak lagi mengajak masyarakat untuk membaca, melainkan menonton. Tapi nyatanya, anggapan itu terbantahkan dengan semakin banyaknya masyarakat yang berminat membaca bukunya. “Catatan Hati Seorang Istri misalnya, sekarang sudah masuk ke terbitan ke dua. Menurut saya, menulis prinsipnya dakwah. Mungkin baru bisa menyentuh 200 ribu orang. Tetapi ketika difilmkan, nilai-nilai dakwah tersebut bisa tersampaikan lebih dari satu juta orang,” terangnya.
Menurut Asma, persaingan sangat ketat. Beruntung sekarang ini, sejumlah production house sudah mau memfilmkan atau membuat sinetron dengan cerita-cerita islami meskipun bukan bulan ramadhan. “Sebagai penulis yang mengangkat cerita-cerita Islami, butuh perjuangan untuk mencapai ke tahap sekarang ini. Kita punya persaingan dengan sinetron yang notabene menunjukkan cara berpakaian mini, celana pendek atau mempertontonkan kalau remaja ini tahunya hanya urusan percintaan saja,” pungkasnya.  **

-----------

Sejak kapan suka mengarang lagu?
Sebelum menjadi seorang penulis buku, saya dulunya pengarang lagu. Kemampuan itu saya pelajari dari ayah yang juga seorang pengarang lagu. Karyanya pernah dinyanyikan oleh Dewi Yul bejudul, Kau Bukan Diriku. Aktivitas mengarang lagu sudah terbiasa sejak usia saya 6 tahun. Bahkan saya juga punya tim nasyid muslimah pertama yang punya album. Sekarang saya  juga membuat album tentang catatan hati Asma Nadia. Saya berharap bisa menyampaikan dakwah lewat lagu-lagu tersebut.

Bagaimana Anda membagi waktu?
Tanggung jawab seorang istri dan setelah memiliki anak tentu semakin besar. Untungnya saya bukan pekerja kantoran. Jadi saya bebas mau kerja jam berapa saja sehingga banyak waktu saya berikan untuk keluarga. Saya menulis ketika anak-anak sedang tidur atau sekolah. Kalau anak saya lagi di rumah, saya berusaha mengajak mereka bermain, diskusi, ngobrol, ngaji dan nonton. Kalau ada acara ke luar kota, saya usahakan pulang hari dan sebelum anak tidur. Ini kadang membuat saya bisa tidak tidur.  Tetapi kalau ke luar negeri biasanya saya sudah atur dengan baik.


Bagaimana dukungan suami?
Sebelum menikah, saya memang sudah menulis. Semakin bersemangat justru ketika sudah menikah. Saya beruntung menikah dengan orang yang peduli akan potensi istrinya. Dia tahu menulis itu penting banget. Kami sejak awal adalah pasangan sederhana. Gaji suami waktu itu hanya Rp 250 ribu. Ketika ada tambahan rezeki, dia tidak membelikan saya sesuatu yang mewah. Melainkan membelikan saya komputer. Dia tahu menulis akan mudah dengan komputer, bisa disambung. Kalau dengan mesin tik khan susah.


Apa harapan besar Anda?
Cita-cita saya ingin mengantarkan anak-anak menjadi manusia yang manfaat, tergali potensi secara maksimal. Bisa menjadi pemimpin untuk orang yang bertakwa. Agendanya mengantar anak-anak ke surga, walaupun saya dan suami juga belum pasti ke surga.


Kabarnya Anda juga berbisnis ransel?
Kebetulan saya penggemar tas ransel. Saya melihat umumnya harga ransel terlalu mahal. Makanya saya ingin membantu teman-teman muslimah yang suka travelling dengan tas yang harganya terjangkau, tetapi kualitasnya bagus.

 3 Maret 2015








Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar: